Kamis, 06 November 2008

KASUS ANAK-ANAK JALANAN

Sampai Kapan Anak-Anak Bangsa Akan Menjadi Budak?


Umurnya belumlah lagi genap 12 tahun, tapi dari segi fisik dia seperti perempuan dewasa. Kulit hitam manis, buah dada telah memperlihatkan bentuknya, bibir yang ranum, serta kulit yang hitam manis menjadi Sinta seperti sekumtum bunga yang sedang mekar, indah. Tapi keindahan fisik Sinta tidak seindah nasib hidupnya. Sejak berumur 6 tahun dia telah hidup di jalanan, mengikuti kakaknya yang juga seorang anak jalanan. Sinta hanyalah satu diantara ribuan anak jalanan yang dewasa sebelum saatnya. Pada saat anak lain yang seusianya menikmati masa kanak-kanak dengan gembira, Sinta sudah harus berjuang bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan kota.


Seperti sore ini, telah menjadi suatu rutinitas hidup. Sinta mengamen di Terminal Blok M bersama anak-anak jalanan lainnya. Sesekali dia masih memperlihatkan tingkah kekanak-kanakannnya dengan bercanda bersama anak-anak jalanan lainnya. Kemudian dia biasa berkumpul di Stasiun ini bersama para pengamen lain. Terlihat seorang anak jalanan laki-laki memeluk dan meraba payudara Sinta dari belakang, Sinta hanya tertawa dan tidak berontak. Setelah anak laki-laki tersebut puas mengerayangi tubuh Sinta dia lalu pergi, beberapa saat kemudian datang seorang pemuda pengamen yang lalu mengangkat tubuh mungil Sinta dan menciuminya, juga Sinta hanya tertawa merasa geli. Itulah Sinta tubuhnya hanya menjadi sebuah benda yang dapat disentuh oleh siapapun.


Dalam usia yang masih sangat muda ini Sinta telah dapat mengetahui bagaimana rasanya berhubungan seks, mungkin dia tidak tahu bahwa, tubuhnya yang sangat berharga itu telah menjadi tempat pelampiasan nafsu para pemuda jalanan. Dia mungkin juga tidak tahu bahwa dia telah menjadi tempat pelecehan seksual oleh teman bermainnya sendiri. Dan juga mungkin dia juga tidak akan pernah berpikir bahwa pada dasarnya dia telah menjadi seorang PSK yang sangat belia, saat ini dia tidak tahu, tapi beberapa tahun lagi mungkin dia akan benar-benar menjadi seorang wanita malam yang sebenarnya, dengan keindahan tubuh yang dia miliki.


Sinta hanyalah sebuah Potret kecil kehidupan anak-anak jalanan di Indonesia. Kekerasan, pelecehan seksual, kehilangan hak-haknya sebagai seorang anak telah menjadi sebuah bingkai besar kehidupan kota-kota besar di Indonesia khususnya Jakarta. Setiap tahun jumlah anak-anak jalanan semakin bertambah. Krisis ekonomi yang terjadi diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah ini. Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggar. anak jalanan adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian waktunya atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya. Anak yang seharusnya masih berada dalam lingkungan bermain dan belajar, tetapi mereka malah bertarung dengan kerasnya hidup di kota besar. kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan di perempatan jalan misalnya, sudah mengandung beragam resiko seperti rawan akan kecelakaan atau resiko terkena penyakit akibat kerapkali menghirup racun-racun kendaraan bermotor. Menelusuri lebih jauh menyaksikan kehidupan malam mereka di taman kota, pasar, gedung-gedung kosong, emperan toko, atau gerbong-gerbong kereta di stasiun, mereka bisa terlelap tanpa alas. Bahaya setiap saat dapat mengancam mereka. Terlebih bila anak perempuan juga dijumpai di sana.


Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan. Yayasan Setara Pada tahun 1999 dalam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Anak jalanan perempuan juga diketahui rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk tujuan seksual dan pornografi. Indikasi perdagangan anak untuk prostitusi dengan sasaran anak jalanan perempuan yang pernah dikemukakan oleh Setara (1999). Pada perkembangannya indikasi tersebut semakin kuat. Hasil monitoring Yayasan Setara dalam periode Januari-Juni 2000 mencatat ada 10 anak yang diperdagangkan ke daerah Batam dan Riau. Kasus pornografi terhadap anak jalanan diduga juga terjadi. Namun sejauh ini belum ada data-data yang mengungkapkan hal tersebut.


Kekerasan anak di Indonesia tidak semakin berkurang, tetapi meningkat dari tahun ke tahun. Seto Mulyadi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, misalnya, mencatat pada saja 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah itu meningkat menjadi 547 kasus pada 2004, dengan 221 kasus merupakan kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya, pada 1992 lalu, dilaporkan terjadi tiga juta kasus perlakukan keji terhadap anak-anak di bawah umur 18 tahun, dan 1.299 di antaranya meninggal dunia. Kekerasan terhadap anak sebenarnya bukan sekadar urusan fisik dan seksual. Itu hanyalah bagian kecil dari kasus yang terjadi. Lebih esensial menilai, kekerasan juga meliputi kekerasan psikis dan sosial (struktural).


Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak


Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak.(1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa. (2) Kemiskinan keluarga, banyak anak.(3) Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam jangka panjang, atau keluarga tanpa ayah. (4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak lahir di luar nikah. (5) Penyakit gangguan mental pada salah satu orang tua. (6) Pengulangan sejarah kekerasan: orang tua yang dulu sering ditelantarkan atau mendapat perlakukan kekerasan sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama. (7) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, keterbelakangan.


Di luar faktor-faktor tersebut, sebenarnya kekerasan struktural paling menjadi problem utama kehidupan anak-anak Indonesia. Karena sifatnya struktural, terutama akibat kemiskinan, faktor-faktor lain seperti rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental, termasuk lemahnya kesadaran hukum masyarakat dan lemahnya penegak hukum memperkuat tingkat kekerasan terhadap anak. Lebih dari itu, kekerasan struktural juga berdampak luar biasa, jangka pendek maupun jangka panjang. Kombinasi persoalan internal (keluarga) dan persoalan kultural dihubungkan dengan problem struktural membuat kehidupan anak-anak Indonesia masuk lingkaran setan yang tidak mudah diatasi. Sejak 1999, jumlah anak di jalanan Indonesia meningkat 85%. Di DKI Jakarta, misalnya, pada 2002 jumlah anak jalanan diperkirakan 150 ribu-300 ribu yang berasal dari sekitar Jabotabek (42%), Jabar (19%), Pulau Jawa (27%), dan luar Jawa (12%). Menurut BPS, pada 2002 terdapat 3.488.309 anak telantar usia antara 5-18 tahun, balita telantar 1.178.82, dan ‘anak nakal’ 193.155 yang tersebar di 30 provinsi. Anak yang membutuhkan perlindungan khusus 6.686.936 dan yang potensial telantar 10.322.674. Anak usia 13-15 tahun yang tidak sekolah juga meningkat 300%. Akibatnya terdapat 2-8 juta anak yang bekerja, di antaranya pada sektor berbahaya: pertambangan ilegal, perdagangan narkoba, sektor alas kaki (industri sepatu), kerja malam, dan pelacuran. Lebih parah lagi, sekitar 36,5 juta anak Indonesia masih di bawah garis kemiskinan.


Situasi di atas tentu sangat memprihatinkan. Berbagai upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak jelas menjadi kewajiban pemerintah, termasuk para pekerja sosial. Masyarakat Indonesia modern ternyata belum sadar bahwa anak memiliki hak penuh untuk diperlakukan secara manusiawi. Di sini, pemerintah sebenarnya punya tugas yang tidak mudah. Pekerja sosial yang mengurusi masalah ini juga masih sangat minim. Pentingnya menjaga kehidupan dan masa depan anak-anak Indonesia yang kondisinya sangat memprihatinkan. kekerasan terhadap anak (child abuse). Anak, sebagai generasi bangsa perlu dilindungi, dirawat dan diarahkan kehidupannya. Sesuai UUD 1945 pasal 34 Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara Negara, seharusnya pemerintah mau membuka mata dan membuka akses pendidikan, dan kesehatan bagi mereka. tapi saya pemerintah Indonesia tampaknya sudah masah bodoh dengan rakyatnya, apa lagi dengan mereka anak jalanan. Anak jalanan tetap aset Negara yang harus di bina dan dilindungi. Harus ada upaya-upaya konkrit untuk melakukan perbaikan atas situasi anak jalanan Upaya ini akan berdampak besar apabila ada keterlibatan dan jalinan kerjasama berbagai pihak seperti pemerintah, Organisasi Non-Pemerintah (Ornop/NGO), organisasi sosial dan kemasyarakatan, akademisi dan masyarakat umum. Patut disadari bahwa anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan. Melalui kampanye ini didorong pula tumbuhnya empati terhadap anak jalanan agar ada keterlibatan konkrit berbagai pihak melalui berbagai kegiatan untuk perubahan. Selanjutnya? Segeralah bergegas turun ke jalanan, belajar dan bekerja bersama anak-anak jalanan untuk melakukan perubahan.


Seperti Inilah Kehidupan Anak Jalanan


Sodomi, pembunuhan dan pelacuran anak-anak dibawah umur merupakan ancaman terhadap anak jalanan. Anak yang hidup di jalanan merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap berbagai bahaya dibandingkan kelompok lain. Umumnya mereka tinggal berkelompok dan sebagian bersama orang tua dan warga sekampungnya di daerah kumuh di kota –kota. Mereka bisa saling mengontrol satu sama lainnya. Namun karena kebersamaan ini pula, gampang sekali tergerak pada perilaku negatif seperti pencurian, judi, seks dan lain-lain. Perilaku itu sebagian menjadi kebiasaan mereka sebagai refreshing, Sudah menjadi kebiasaan mereka, uang mudah di dapat di jalan jika habis di00 meja judi. Kehidupan di Jalanan Sebagai kelompok yang berisiko tinggi, anak yang hidup di jalan berada 24 jam dan menggunakan semua fasilitas jalan untuk ruang hidup seperti tidur, mencari uang dan berhubungan sesama temannya. Mereka biasa tidur di taman, bangku-bangku penumpang, kolong jembatan , emperan toko dan tempat lain yang mereka angap aman. Mereka sebenarnya tidak bekerja serius, hanya kalau ingin makan saja dan umumnya dengan mengemis, mengamen minta sama temannya atau mencuri. Mereka tinggal berkelompok yang anggotanya saling membantu satu sama lainnya dalam urusan makan, mencari uang, bermain dindong, atau kencan dengan teman wanita. Kelompok ini memiliki ikatan sangat kuat dan ciri solidaritas yang tinggi, tetapi hubungan dengan kelompok lain sangat rapuh. Mereka mudah saja berantem atau tersinggung seperti perebutan tempat mangkal atau lokasi mencari uang.


Ciri-ciri mereka adalah liar, tertutup, tidak tergantung kepada orang lain, dan bebas. Mereka sangat mudah berpindah tempat dari kota yang satu ke kota yang lain. Kontrol orang tua tidak ada karena hubungan yang sudah terputus. Mereka mengembangkan gaya hidup sendiri untuk survive. Kebutuhan terhadap lembaga-lembaga formal yang semestinya menampung mereka seperti di rumah, sekolah dan kelompok bermain tidak lagi mereka dapatkan. Dengan gaya hidup itu mereka menganggap jalanan sebagai suatu lembaga yang membuatnya merasa esksis. Persoalan nyata yang mereka hadapi adalah adanya eksploitasi dalam kehidupan mereka, seperti seks, pekerjaan dan kehidupan yang lebih luas. Eksploitasi ini bertingkat dari cara yang halus sampai yang sangat kasar. Sodomi, pergaulan dengan WTS, kumpul kebo, merupakan eksploitasi bersifat seks. Eksploitasi pekerjaan bersifat penghisapan upah mereka. Eksploitasi lainnya adalah si anak tinggal bersama si preman menjadi anak asuhnya dan wajib melayaninya termasuk sodomi Perilaku seks yang lain adalah dimana anak tidak saja menjadi korban, melainkan sebagai pelaku seks, artinya dengan sadar ia melakukan hubungan-hubungan seks. Hubungan seks dengan WTS atau paedofil tidak saja didasarkan pada motif seks tetapi sebagian menganggap sebagai upaya menyalurkan kasih sayang, seperti halnya anak kepada orang tuanya. Perbedaan usia dan pengalaman tidak lagi menjadi hambatan.


Di Indonesia anak jalanan masih belum dianggap sebagai kelompok dengan resiko tinggi terkena HIV/AIDS, padahal di Thailand, sekitar 40% dari puluhan pelacur anak-anak yang beroperasi di jalan –jalan di Bangkok mendapat vonis mati akibat tercemar virus HIV. Di Bombay terdapat sekitar 50.000 pekerja seks berusia di bawah 18 tahun. Di Brazil sekitar 250.000 anak terlibat prostitusi (andri,clc.1993). Siapa pun tentu tidak ingin anak jalanan di Indonesia tercemar HIV/AIDS, seperti halnya kasus 8 anak yang terlanjur mati mengenaskan. Namun apakah akhirnya akan terjadi seperti yang sudah-sudah ? Berita hanya sebatas berita, tangisan dan rasa kesal hanya sebatas emosi. Anak-anak jalanan tetap di jalanan, sendirian, menoreh-noreh nasib mempertahankan hidup, di hantui ancaman dan ketakutan. Siapa yang peduli? Akankah kita kembali terbiasa hanya bereaksi terhadap suatu peristiwa tanpa mampu berbuat proaksi bagi anak jalanan ini.

*** andrizal@merdeka.co.id